toxic masculinity

Stressed man sitting with hands on head at home

Kamu mungkin mengetahui apa itu toxic feminity, tapi tahukah kamu toxic masculinity? Ini menjadi istilah yang cukup populer beberapa tahun terakhir, seiring dengan berkembangnya kesadaran akan kesehatan mental. Istilah ini digunakan sebagai tekanan budaya pada kaum pria yang harus berperilaku maskulin. Misalnya, pria tidak boleh menangis, pria tidak boleh pakai baju warna pink, dan pria tidak boleh lemah.

Kondisi tersebut tidak bisa disepelekan, toxic masculinity dapat berdampak buruk bagi kesehatan mental pria. Padahal pria juga sama sama manusia yang bisa merasa sedih dan menangis, bisa menyukai warna pink, bisa menjadi lemah, dan hal manusiawi lainnya. Pria juga berhak mengekspresikan semua emosi yang dirasakannya.

Apa itu toxic masculinity?

Istilah toxic masculinity digunakan untuk menggambarkan perilaku maskulinitas yang dianggap harus ada pada pria, tanpa adanya perilaku ‘feminin’ sama sekali. Biasanya perilaku ini menganggap bahwa ‘pria sejati’ harus menekan emosi, bertindak keras, dan beberapa perilaku tertentu. Menunjukan sisi feminim dianggap memperlihatkan kelemahan mereka.

Para pelaku toxic masculinity juga menentang pria yang melakukan pekerjaan yang mayoritas dilakukan wanita, seperti menjahit, memasak, mendesain busana, merias wajah, dan lain-lain. Mereka menganggap hal ini tidak keren dan tidak menunjukan ‘pria sejati’.

Alih-alih membuat pria terlihat lebih gagah dan maskulin, anggapan tersebut malah merugikan para pria. Tidak terkecuali bagi para transgender dan pria gay, mereka juga sangat mungkin memiliki sifat toxic masculinity. Padahal, di zaman yang berkembang ini setiap orang bebas berekspresi sesuka hati. Termasuk para pria yang ingin berperilaku ‘feminim’. 

Ciri-ciri toxic masculinity untuk kesehatan mental pria

toxic masculinity dan gangguan kesehatan mental

Salah satu hal yang menjadi ciri khas konsep toxic masculinity, yaitu menekan emosi seperti tidak boleh sedih atau menangis. Bahkan tidak sedikit dari mereka yang merasa harus bersikap dominan, seperti adat patriarki. Berikut adalah beberapa ciri-ciri konsep toxic masculinity yang tidak baik untuk kesehatan mental pria:

  • Tidak memperlihatkan kesedihan atau kesusahan hati, yang diperlihatkan hanyalah keberanian dan amarah
  • Membatasi cara berpakaian dan warna yang dipilih, tidak boleh bergaya seperti wanita dan memakai aksesoris
  • Tidak mau menerima bantuan dari orang lain
  • Merasa harus berkuasa dan berstatus sosial tinggi agar dihormati
  • Cenderung kasar, agresif, dan selalu ingin mendominasi
  • Cenderung bersikap misoginis atau membenci wanita
  • Beberapa dari mereka cenderung melakukan aktivitas seksual dengan kasar
  • Menganggap keren terhadap sesuatu yang tidak sehat seperti; mabuk, merokok, dan mengonsumsi obat-obatan terlarang
  • Heteroseksisme dan homophobia

Semua perilaku tersebut akan menjadi tekanan tersendiri bagi mereka. Pria yang diberitahu untuk menekan emosinya, dan dibuat merasa malu karena menangis atau berbicara tentang perasaan mereka, hal itu dapat membuat mereka lebih sulit untuk mengungkapkan ketika mereka mengalami krisis kesehatan mental.

Cara mencegah toxic masculinity untuk kesehatan mental pria

Cukup sulit mencegah toxic masculinity terjadi di lingkungan kita, karena hal ini berkaitan dengan kepribadian seseorang yang sulit diubah. Meski begitu, kamu tetap bisa melakukan beberapa cara untuk mematahkan stigma tersebut dengan mendidik anak laki-laki dengan benar. Berikut beberapa hal yang bisa kamu lakukan:

  • Ajarkan untuk selalu mengekspresikan diri seperti rasa takut, sedih, marah, senang, dan lain-lain.
  • Hindari perkataan yang merendahkan perempuan seperti perempuan itu cengeng, lemah, dan penakut, yakinkan bahwa semua perasaan itu manusiawi.
  • Belajar lebih rentan atau merasa empati. Perilaku ini biasanya diidentikan dengan kelemahan, namun hal ini bisa menumbuhkan kesadaran emosional.

Toxic masculinity tumbuh dari norma-norma gender maskulin tradisional. Hampir semua manusia di seluruh dunia diajarkan bahwa pria harus maskulin dengan berperilaku tertentu. Tanpa disadari, norma-norma tersebut mengakar dan menjadi ‘racun’ untuk para pria itu sendiri.

Perlu juga diingat bahwa sifat-sifat tertentu yang dianggap ‘maskulin’ tidak hanya dimiliki oleh pria. Sama halnya, sifat-sifat tertentu yang dianggap ‘feminin’ tidak hanya dimiliki oleh wanita. Wanita pekerja keras, sama seperti pria yang rentan dan menunjukkan emosi, tidak ada yang salah dengan itu.

Share artikel ini
Reference